The Kite Runner : bukan tentang layangan

Beberapa cerita, harus saya baca dengan lambat dan tertatih-tatih, bukan karena gaya penulisannya yang tdk menarik, melainkan karena saya harus sedikit-sedikit berhenti membaca dan menghela napas; mengembalikan saya pada dunia nyata sebelum saya tersentuh lebih dalam dan terjatuh, yang berakibat rasa sedih (atau haru atau apalah yg rasanya tdk enak di perut) yang berakibat merahnya mata saya yang sebagai kompensasi dari rasa tsb, saya harus membaca cerita2 gembira (atau menonton film gembira jg blh ;) ) sekitar 3x porsinya dari cerita itu. Kadang2, saya berhenti total dari membaca sebuah cerita jenis tsb, karena tahu akhirnya pasti buruk dan setelah perjuangan yg dilakukan utk membacanya rasanya tidak adil kalau saya harus dijatuhkan lagi dengan ending yg kejam.

Salah satu dari cerita tipe semacam itu yang akhirnya berhasil saya selesaikan adalah The Kite Runner. Butuh waktu berminggu-minggu buat saya menyelesaikan buku ini. Padahal, dengan gaya penulisan yg dimilikinya, seharusnya buku semacam ini selesai dalam 2 hari (maksimal 3 hari klo sibuk lah..ehehe). Masalahnya,bahkan di bab2 awal buku ini berhasil mengaduk saya hingga butuh beberapa hari untuk saya siap menyiapkan diri lagi membacanya (berlebih ya?hehehe..).

Novel karangan Khaled Hosseini ini bercerita tentang kehidupan orang Afghanistan, dari sebelum pasukan Rusia menyerang, diganti Taliban, lalu diganti oleh orang Amerika (yang sampe sekarang klo ga salah). Berkisah tentang anak afghan kaya, amir, yg memiliki sahabat yg juga pembantunya dari kasta yg lebih rendah (disana ada ras yang direndahkan, red), hassan, dengan sudut pandang dari anak afghan kaya tsb. Si pembantu itu setianya bukan main walaupun majikannya seringkali mempermainkannya. 

Dimulai dari masa kecil Amir dan Hassan saat negara Afghanistan masih merupakan negeri damai yang kata penulisnya generasi muda yg terbiasa dengan bom dan ranjau belum terlahir, kisah bergulir. Perhentian pertama saya adalah pada saat Amir mengkhianati Hassan demi mendapat perhatian dari ayahnya yg selama ini mengacuhkannya dalam sebuah insiden turnamen layang2 (turnamen layang2 adalah turnamen bergengsi utk anak laki2 Afghanistan pada saat itu). Rasa bersalah membayangi Amir dg kuat dan yg dilakukannya, alih2 minta maaf krn tdk membantu, adalah mengusir Hassan dan ayahnya yg sdh bertahun2 bekerja di rmhnya agar ia tdk perlu bertemu dg sumber rasa bersalahnya itu..

Perhentian-perhentian selanjutnya datang silih berganti seiring dengan kepergian Amir dan ayahnya ke Amerika karena Afghanistan dijajah pasukan Rusia,Shorawi, dan kembalinya ia ke Afghanistan ,saat Taliban berkuasa dimana syariat ditegakkan dengan aneh, dan negeri indahnya tinggal berupa puing2, dengan 1 misi: memperbaiki kesalahannya di masa lalu. 

Menurut saya pribadi, buku ini bercerita tentang puing2 sisa peperangan, reruntuhan peperangan secara fisik yang digambarkan dengan apik dan menyayat oleh penulis, mengenai Afghanistan yang indah saat damai, dan kerusakan yang ditimbulkan akibat perang; terutama pada manusianya. Juga perang batin yang dirasakan oleh Amir; rasa bersalah, ketakutan, damba akan kasih sayang orang tua, penyesalan, pengharapan, kesetiaan dan tidak lupa sedikit romansa, menjadi warna yang kuat dari kisah ini. Pertemuan-pertemuan dan perpisahan, masa lalu dan masa kini, bersinggungan dan menjalin ikatan yang kuat yg menuntun arah cerita. Novel ini mendapat anugerah Humanitarian Award 2006 oleh UNHCR dan menurut saya itu pantas, karena sang penulis berhasil membuat saya merasa beruntung tinggal di Indonesia yang carut marut ini dan menghargai orang2 di sekitar saya :)

Dannn...oleh karena itu buku ini saya anugerahi 5 bintang dari skala 5.. highly reccomended untuk semua orang :D
NB: mohon jgn judge book by its cover atau by its writer's name atau by its title..ini beneran bagus..coba deh ;)